Pages

WELCOME TO MY BLOG

Selasa, 28 September 2010

Menikmati Cita Rasa Swiss

ANDA penggemar kuliner mancanegara? Tepat rasanya jika mampir ke Marche Restaurant. Restoran berkonsep rumah kayu asal pegunungan Swiss ini hadir di Jakarta dengan segala keunikan dan sajian ala pasar.

Marche, dalam bahasa Swiss, berarti pasar. Berdasarkan arti kata tersebut, tak heran bila restoran bernama Marche ini juga mengambil konsep suasana pasar dalam penyajian menu-menunya.

Marche Restaurant-yang merupakan bagian dari perusahaan restoran terkenal di Swiss, Marche International-hadir di lantai 5 Plaza Senayan, Jakarta, sejak awal April 2009. Saat pembukaan, restoran seluas 1.132 m2 ini konon mampu menjaring pengunjung hingga 1.500 orang.

Bukan konsep interiornya saja yang unik, restoran ini juga memiliki isi yang bisa dijadikan daya tarik buat pengunjung. Mulai sajian khas Swiss sampai pada tempat bersantap yang tampilannya sama persis dengan rumah kayu milik tokoh dongeng anak-anak terkenal di Swiss, Heidi. Heidi Home bahkan juga dipajang di balkon restoran.

Rumah kayu tempat tinggal tokoh dongeng yang terkenal sejak abad ke-19 itu menjadi inspirasi bagi pemilik Marche Restaurant. Sampai-sampai sang inspirator utama, Heidi, wujud patungnya "diabadikan" di area balkon restoran bersama Peter dan kambing gembalaannya.

Di seberang rumah Heidi, ada rumah kakek Alpohi. Di rumah tersebut terpajang barang-barang antik khas Swiss, mulai cangklong (pipa), alat memancing, sepatu salju, sampai peralatan dapur yang kebanyakan berasal dari tahun 1900. Selain Heidi Home, disediakan pula area bermain untuk anak-anak.

Menurut General Manager Asia Pacific Marche International Andrew Towner, rumah Heidi telah berusia 500 tahun. Rumah tersebut dibawa dari Frutigen, daerah Bernese Oberland, Swiss, dalam bentuk potongan-potongan kayu, yang kemudian dibangun kembali menjadi rumah yang mampu menampung sekitar 430 orang.

"Kami ingin menawarkan suasana asli Swiss. Oleh sebab itu, kami memutuskan untuk mendatangkan langsung potongan-potongan kayu tersebut dari Swiss ke Jakarta," ujar Towner.

Di samping potongan kayu, para perajin yang ditugaskan membangun pondokan ini pun diterbangkan langsung dari Swiss. Mereka menggunakan cara pertukangan tradisional, yang telah diwariskan secara turun-temurun. "Hampir 95 persen kayu dipotong secara manual menggunakan kampak," kata Towner, saat grand opening Marche Restaurant, beberapa waktu lalu.

Selain rumah atau pondok pedesaan yang dijadikan private room, ada pula dua kereta gantung dari sebuah daerah di Swiss, yang diubah menjadi ruang makan. Nuansa Swiss semakin terasa berkat hadirnya air terjun yang mengalir di antara dua lantai restoran, plus pemandangan Swiss yang dimunculkan di layar berukuran cukup besar.

Marche sendiri telah memiliki 76 cabang. Waralabanya pun sudah tersebar di berbagai negara, antara lain Jerman, Austria, Slovenia, Norwegia, Hongaria, Singapura, Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia.

Renata Harvia Ashari, 25, seorang pengunjung yang datang bersama dua rekan kerjanya asyik menikmati potongan steak daging sapi khas Marche Restaurant. Renata mengaku, datang ke tempat ini karena penasaran melihat patung sapi lucu yang berada di lantai bawah restoran.

"Aku penasaran dengan sapinya, yang ternyata menjadi promosi restoran ini. Karena penasaran, aku langsung nyoba datang ke restoran yang memiliki suasana menyenangkan ini," ujarnya.

Berbeda dengan Nesha Silvianda, 28. Pegawai bank swasta di Jakarta ini justru datang ke Marche lantaran tergiur oleh promosi dari mulut ke mulut para pencinta kuliner. Nesha yang pernah bersekolah di Swiss mengaku, sempat kangen pada masakan khas negara yang terkenal dengan cokelat, keju, dan Pegunungan Alpen-nya itu.

"Kalau lagi kangen Swiss, sekarang enggak usah jauh-jauh pergi ke sana karena di sini pun suasananya sudah mirip, lengkap dengan pasarnya," kata Nesha, yang pernah empat tahun tinggal di salah satu negara Eropa barat itu.

Di Marche Restaurant, sistem pembelian yang diterapkan sangat berbeda dengan restoran pada umumnya. Di sini, pengunjung akan diberi satu lembar kertas yang diisi dengan sepuluh kotak. Tiap kotak bisa dimanfaatkan untuk membeli makanan atau minuman yang mereka kehendaki. Selanjutnya, kotak itu akan diberi cap, untuk kemudian dilakukan pembayaran saat sang pengunjung hendak meninggalkan restoran.




Sumber     : okefood
Lihat juga :
laguna
sushi tei
tamani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar