Nyaman, akrab, dan bersahaja: inilah estetika Peranakan vintage yang disederhanakan untuk konsumsi kerumunan sehari-hari; ruang tunggal perseginya dapat menampung sekitar 20 orang, dan napas para pelanggan tertinggal akrab di atas lampu-lampu kandang burung dan berbagai pernik Nonya lainnya. Sementara pesonanya kuat menguar-uar, ia agak militeristik dalam hal sajian: sarapan hanya disuguhkan antara pukul 7 dan pukul 11, dan sajian makan siang dan makan malamnya terbatas.
Sarapan di sini berbasis karbohidrat, murah dan nyaman, dalam kisaran yang mencakup roti bakar dengan keju dan selai, roti bakar dengan daging kornet, roti bakar dengan kornet dan telur, dan roti bakar Prancis dengan sirup mapel dan kayu manis. Jangan segera percaya pada nama-nama yang “eksotik”: “roti taloea Boekittinggi”-nya (roti bakar dengan telur kocok setengah matang dan potongan tomat) bahkan lebih polos daripada Kabayan, meski penggemarnya cukup banyak.
“Sago ireng” yang populer—ayam tumis suwir dan serundeng yang disajikan bersama nasi wangi yang dihitamkan dengan keluak (biji pohon kepayang), disuguhkan di atas daun pisang—juga bukanlah peristiwa kuliner penting, kecuali sambalnya yang memang afdal. Lebih baik pilih menu yang gampang ini, “boeboer ajam Benteng”: kucainya memberi tendangan yang kukuh dan pagan, dan Anda bisa minta tambahan cakwe untuk menambah kerenyahan.
Sikap ringkas ini pun sukses dalam sajian makan siangnya: ayam bumbu-rendam dengan wangi ketumbar menjadi tulang punggung sate Ponorogo, yang secara visual terlihat seperti sate Padang, dengan kemulusan serupa yang hampir mirip agar-agar, tapi tanpa rasa kari.
Kegemaran pada kelengketan tepung jagung (yah, bagaimanapun kita toh berada dalam wilayah Baba) dapat ditemui dalam pilihan gado-gado mereka. Ini langgam Bon-Bin, gaya populer yang dikaitkan dengan warung gado-gado termasyhur di Jalan Kebon Binatang (Bon-Bin) II (sekarang Jl. Cikini IV), dengan tekstur saus kacang yang lembut manis serupa (meski di sini harganya 7.000 rupiah lebih mahal daripada di sumbernya). Gaya gado-gado ini bukan favorit semua orang, saya tahu, tapi bagi saya ia memang enak.
Sementara itu, lontong cap gomeh, sajian Baba tulen yang terdiri atas lontong dalam kuah santan berempah penuh tahu, telur, ayam godok, dan kari buncis, tampil ringan memikat. Untuk makan malam, pada menu makan siangnya ditambahkanlah nasi goreng kambing, nasi goreng petai, nasi goreng jeroan, dan panini dengan daging panggang dan keju mozzarella (dikenal sebagai “Roti Bakar Italia”). Sajian kopinya mencakup kopi Jawa tanpa filter, kopi saring Aceh alias Kopi O, kopi saring dengan telur mentah kocok yang dikenal dengan nama “kopi taloea Boekittinggi”, dan kopi tradisional Vietnam dengan susu kental manis yang disebut dengan nama—apa lagi?—“kopi soesoe Indotjina.” Untuk suntikan semangat, cobalah “wedang oewoeh”, minuman jahe panas dengan limpahan cengkih, kayu manis, pala, esens kayu secang, dan gula.
Bagi para penyair di antara kita, cermatilah meja Anda sekali-kali: siapa tahu, ada secarik puisi di bawah meja sebagai siraman jiwa …
Harga: sekitar Rp 60.000 untuk berdua
Jam buka: 07.00 – 21.00 (Senin - Jumat); 08.00 – 22.00 (akhir minggu, tanggal merah)
* vivanews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar