Julukannya memang terbilang menyeramkan: ikan pembunuh. Boleh jadi Anda bakal mengernyitkan kening mendengar nama menu ekstrem ini. Susah membayangkan jika ikan yang tergolong buas itu disajikan di atas piring kita. Beraroma rempah dan disandingkan dengan nasi putih, sambal, dan lalap.
Mungkin belum banyak yang tahu bahwa ikan yang terbilang langka dan mulai dilarang diburu oleh organisasi lingkungan dunia ini dagingnya enak disantap. Sebelumnya, hiu lebih banyak dimanfaatkan siripnya untuk dimasak dan dipakai sebagai obat.
Di beberapa tempat di Bandung, santapan daging hiu banyak ditawarkan sebagai menu utama. Bandung? Agak sedikit aneh karena bisa menemukan santapan sea food di kota pegunungan, ratusan kilometer jauhnya dari kawasan pantai utara ataupun selatan.
Tapi inilah Bandung, kota sagalana aya (semuanya ada--Red). “Dan orang memakan hiu juga karena sensasi,” kata Doni H. Yudha, 58 tahun, pemilik Rumah Makan Sea Food Niagara, Bandung.
Sirip hiu di restoran-restoran Cina banyak dipakai untuk bahan sup. Daging hiu biasanya dibakar atau digoreng tepung. Perlu pengolahan khusus karena aroma ikan buas ini cukup amis dan menyengat. “Bau menyengat itu biasanya karena ikan hiunya lagi pas musim kawin. Jadi cari yang ukurannya belum terlalu dewasa,” ujarnya.
Di Restoran Niagara, hiu bidadari oleh Doni diolah dengan aneka rempah. Terilhami bumbu balado dari Aceh dan Padang, juga kesegaran olahan ikan dari Manado, Doni meracik aneka rempah sebagai bumbu oles sebelum hiu itu dibakar. Tapi, sebelumnya, hiu-hiu itu direndam dengan bumbu cabe dan rempah Jawa hingga tiga jam.
Doni mengaku boros dalam memakai cabe. Ada lima jenis yang dipakainya, dari cabe rawit, keriting, rawit kering, keriting kering, hingga cabe tanjung. “Rasanya lebih nyusss dan gurih. Tekstur daging dan rasa ikannya terasa,” kata Riza, 26 tahun, pengunjung asal Kelapa Gading, Jakarta.
Niagara baru satu dari sekian tempat. Agak sedikit ke timur, ikan buas itu diolah secara “rock n roll” oleh Aris di Rumah Kampung Laut Pangandaran. Aris, yang asli dari kawasan Pangandaran, Banjar, memakai bumbu cobek asal kampungnya untuk mengolah ikan pembunuh ini. “Rock n roll karena pedasnya lebih dari biasa, tapi member rasa hangat pada tubuh, tidak panas pada perut,” ujarnya.
Ada yang khas di bumbu cobek Aris. Selain cabe rawit, bawang merah, bawang putih, dan jahe, Aris memakai kencur dan honje--nama lain kecombrang yang rasanya asam segar dan wangi. Semua bumbu itu dibuat mendadak agar terasa lebih segar. Khusus sebagai penghilang amis, Aris mengandalkan bawang putih. “Ada tiga pilihan yang ditawarkan: bakar pedas, bakar biasa, dan rock n roll,” kata Aris.
Harga seporsi hiu bakar masih cukup terjangkau, bahkan untuk ukuran menengah ke bawah. Untuk daging hiu bidadari bakar plus nasi dan segelas hot lemon tea di RM Niagara cukup ditebus dengan Rp 15 ribu saja. Di RM Kampung Laut Pangandaran, per ons ikan hiu bakar ditawarkan Rp 6.000 dengan ukuran rata-rata 1-2 kilogram.
Menyajikan ikan yang terbilang langka setiap hari memang tak mudah. Doni dan Aris sama-sama mengakui, butuh waktu mengenalkan menu yang terbilang ekstrem ini ke konsumen. Meski, boleh jadi ekstremitas itulah yang membuat restoran ini mudah dikenal dan dicari.
Niagara, misalnya, sebenarnya mengandalkan 18-32 jenis ikan laut, di antaranya sidat, barakuda, dan napoleon. Tapi, toh, lima jenis hiu, seperti hiu putih, bidadari, tutul, tiger shark, hingga monster shark, yang jadi menu andalan itulah yang cepat laris manis. Setidaknya 600 piring habis saat akhir pekan atau liburan panjang.
Kondisi tak jauh berbeda dialami Aris. Jika liburan panjang tiba, ia terpaksa menambah stok hingga 25-30 kilogram. Kursi pun terpaksa ditambah. Dan kalau restorannya di kawasan Tubagus Ismail penuh, pengunjung yang tak kebagian tempat bisa ke Jalan Dipati Ukur 21, Bandung.
Masalahnya bukan lagi pada menu ekstrem, melainkan pasokan hiu yang tak mudah didapat. Jika gelombang tinggi, bukan hanya Doni, Aris pun terpaksa jauh memburu ikan-ikan ini. Sejauh ini Doni mengandalkan pasokan dari pantai utara. Aris memilih ikan dari tangkapan warga kampungnya di Pangandaran. Tapi, jika memang susah, boleh jadi Aris terpaksa harus mencari hingga ke Lampung.
Boleh jadi, karena itu pula, beberapa restoran yang awalnya menawarkan masakan ini sebagai menu utama memilih menghapusnya dari daftar menu. Salah satunya Restoran Grafika di kaki Gunung Tangkuban Parahu, Cikole, Lembang, Bandung. “Pasokan ikannya susah. Terpaksa (menu) sering kami hapus, meski ternyata peminatnya banyak juga,” kata Sapto, pengelola restoran.
Akhirnya ekstremitas barangkali tinggal nama. Selera dan rasa, juga pengalaman baru menjelajah kreativitas olahan Nusantara, bisa jadi sering menggoda. Jadi, ikan hiu naik gunung. Hayuuu, Mang, makan hiu di Bandung....
Sumber : tempointeraktif
laguna, sushi tei, table8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar